Jumat, 10 April 2009

Hari ulangtahun ke-21

“Ibarat ilmu padi, makin tua makin berisi”

Beberapa menit lagi aku memasuki usia yang yang ke-21. 21 tahun yang lalu tepatnya di bulan April pada tanggal 10 aku dilahirkan di RS Kasih Ibu, dengan bobot kira-kira 4kg. Kata ibu itu masuk bayi besar,hahaha. Aku terlahir dengan nama lengkap Pande Putu Hadi Wiguna, dimana kata bapak, nama Hadi dan Wiguna punya kemiripan dengan nama Hayam dan Wuruk. Tumbuh dengan nama kecil Tu’adi, aku menjadi anak yang cukup lincah. Tu’adi kecil suka maen layang-layang dan sepeda, ga peduli tempat dan waktu. Ga heran, sekarang kulitku jadi lebih gelap di antara keluargaku,haha. Dengan asupan gizi yang tergolong wah saat itu, aku tumbuh jadi anak muda yang tinggi dan agak sedikit tambun. Sangat berbeda dengan kedua orangtuaku yang perawakannya lebih kecil. Masa-masa sekolah 9 tahun aku lalui dengan gemilang dan sarat prestasi. Semua berkat didikan dari orangtuaku. Sampai akhirnya aku merasakan persaingan yang lebih ketat di bangku SMA dan kuliah. Memang tidak berprestasi dalam pelajaran, tapi aku akui, aku kenyang dalam pengalaman. Ya, paling tidak dengan teman-teman seusiaku.

Aku paling trauma dengan bawang merah karena dulu kalau aku membandel, ibu selalu mengolesi bawang merah di mukaku, selain perih baunya yang menyengat membuatku mual. Efeknya aku bisa dikendalikan, tapi buruknya sampai di usiaku yang ke-21 ini aku masih tetap trauma dengan bawang merah.
Saat ini, menjelang usiaku yang ke-21 aku ingin tahu, seberapa pantas aku dikatakan dewasa. Secara fisik memang iya, bahkan ada temanku bilang, aku tidak sesuai dengan umurku. Menurutku ada beberap kriteria orang tersebut dikatakan dewasa dan menurutku fisik bukan tolok ukur kedewasaan seseorang. Hal pertama dan yang paling aku anggap susah adalah emosi. Kedewasaan dalam emosi, dari dulu aku selalu berusaha agar tidak dikendalikan emosi. Dulu SMA emosiku meledak-ledak, sangat kacau, sedikit disulut langsung terbakar. Lambat laun aku temukan cara mengontrol emosiku, setelah mulai merantau jauh dari orangtua, aku merasakan hal yang berbeda, aku mulai belajar mengontrol emosiku. Tapi belum bisa dan masih tersisa bagian buruknya. Umurku masih terlalu muda, aku rasa secara emosional aku belum dapat dikatakan dewasa. Aku masih perlu belajar lebih banyak lagi, lebih banyak mengenal karakter seseorang akan mengajariku bagaimana aku harus “mempermainkan” emosiku. 
Hal berikutnya yang aku soroti dari hidupku adalah kebiasaanku yang boros. Jujur, aku paling tidak bisa melihat uang nganggur. Asal ada uang di dompet, pasti ingin belanja. Aku khawatir kalau ini terus berlanjut hingga aku tua, gimana aku bisa mengatur kebutuhan keluarga. Sekarang saja aku yang belum berkeluarga sudah bisa menghabiskan gajiku kelak dalam waktu kurang dari sebulan. Kalau ini berlanjut, bisa-bisa pertengahan bulan aku harus mulai puasa. Hal yang terpenting menurutku adalah membuat skala prioritas. Sampai saat ini aku belum bisa melakukannya. Aku tidak bisa memikirkan kebutuhanku yang lain di lain waktu. Dalam pikiranku, hari ini aku ingin, ada uang, aku beli. Hal yang sangat buruk! Bagaimana aku bisa menyiapkan tabungan untuk keluargaku, untuk diri sendiri aja tidak bisa.
Selanjutnya yang menurutku paling fatal dan berakibat sangat buruk dengan kehidupanku nanti adalah lalai melakukan kewajibanku terkait dengan Sang Hyang Widhi. Aku akui, di perantauan aku sangat-sangat jarang ibadah. Sebenarnya salah jika aku menyalahkan keadaan, tapi aku ceritakan sedikit penurunan intensitas ibadahku. Dulu ketika kau masih SMA, aku punya seorang pacar, aku sangat rajin ibadah, aku selalu berdoa agar hubungan kita abadi hingga akhir waktu. Tapi setalah aku menyelesaikan SMA, ternyata hubungan itu putus ditengah jalan. Sebenarnya aku sangat-sangat salah berpikir seperti ini, aku kira apa yang aku lakukan dulu ga ada artinya. Permohonanku kepada Tuhan toh tidak terkabul. Itulah anggapanku, aku sadar ini sangat amat salah. Seakan-akan ini menjadi suatu trauma yang membangkitkan setan dalam diriku. Untuk itu aku ingin di usiaku yang ke-21 ini, anggapan seperti itu mulai terkikis dan habis. Agar aku bisa seperti dulu lagi, menunaikan kewajibanku sebagai ciptaan Sang Hyang Widhi.
Inilah tiga hal yang paling aku soroti selama 21 tahun aku hidup di dunia ini. Semoga dengan bertambahnya usia, aku bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa. Dengan berkat Hyang Widhi, semoga tiga sifat buruku ini bisa diperbaiki. Semua ini juga tidak lepas dari Kadek Setiya Wati yang selalu berusaha untuk mengertikan aku. Walaupun umur cinta kita belum lama, aku ingin cinta ini hingga lama selama-lamanya. Selamat ulangtahun yang ke-21 Tu’adi, semoga tiap detik usiaku bertambah, membawa perubahan yang baik bagi diriku, keluargaku, sahabat-sahabatku, dan duniaku yang tercinta. Congratulation!

Tidak ada komentar: